Senin, 02 Mei 2016

Penyempitan Makna Pendidikan



Spesial  Memperingat Hari Pendidikan Nasional
Oleh : Al Mubaraq
“Pendidikan anak haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa, yaitu pendidikan yang mampu membimbing anak agar menjadi orang-orang yang merdeka lahir dan batin”
“Ing Ngrasa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani”
KI Hadjar Dewantara
Keberadaan sebuah tatanan kehidupan suatu Negara biasanya selalu diiringi oleh fondasi-fondasi yang dibangun untuk menjadi dasar dari Negara tersebut. Hal tersebut sengaja dipersiapkan untuk membangun kerangka Negara yang kuat dan mampu membuat Negara tersebut tetap berdiri untuk dapat menghadapi setiap tantangan baik eksternal maupun internal.
Salah satu fondasi yang biasanya menjadi hal yang penting adalah PENDIDIKAN. Pendidikan sejatinya merupakan suatu instrument yang berguna untuk membantu warga Negara agar dapat menemukan dan mengembangkan potensi yang dimiliki seoptimal mungkin. Kondisi seperti ini membuat pendidikan menjadi sebuah fondasi dasar yang akhirnya selalu mendapat perhatian demi membangun karakter warga Negara dan posisi ini akhirnya dilembagakan menjadi sekolah.
Konsepsi tentang pendidikan sebenarnya merupakan konsepsi umum yang sejatinya sudah ada dalam pemikiran-pemikiran kuno, hal tersebbut bisa dilihat dari adanya pemikiran-pemikiran dalam filsuf Yunani seperti Plato ataupun Aristoteles yang telah memulai memperkenalkan pikirannya tentang konsep pendidikan. Konsep yang diajukan oleh Plato adalah konsep pendidikan yang akan dikembangkan dalam sebuah Negara. Demikian dengan  Aristoteles yang mengemukakan konsepnya tentang pendidikan untuk warga Negara. Perjalanan panjang pendidikan akhirnya dilanjutkan sampai sekarang ini. Sehingga pendidikan dan keberadaan pendidikan merupakan sebuah hal yang pasti dan tak mungkin tak ada dalam sebuah kehidupan manusia dan Negara.
Akan tetapi, dalam perjalannya pendidikan telah mengalami metamorfosa. Bila awalnya pendidikan merupakan tugas bersama seluruh warga Negara dan Negara, lambat laun pendidikan digerus untuk disentralisir hanya menjadi tugas Negara ataupun lembaga, sehingga pendidikan terjebak untuk dikooptasi dalam makna yang cukup sempit yaitu SEKOLAH.
Sekolah, sebagai manifestasi dari konsep pendidikan yang dilembagakan oleh Negara, tentunya memiliki visi dan orientasi. Dalam hal ini biasanya, visi dan orientasi yang dimiliki oleh sekolah akan selalu sama ataupun disesuaikan dengan visi dan orientasi ideology Negara. Hal ini dikarenakan, ideology merupakan sebuah patokan dari sistem nilai, tindakan dan pemahaman yang ada dalam kerangka kenegaraannya, dan pendidikan adalah bagian dari proses pengembangan SDM, yang dipersiapkan untuk melanjutkan dan mengembangkan kehidupan Negara kedepan, sehingga pertautan antara keduanya cukup erat.
Begitu pun yang terjadi pada Negara-Negara berkembang, visi dan orientasi ideology pendidikannya selalu disesuaikan dengan visi dan orientasi ideology politik Negara. Dalam kondisi ini, biasanya orientasi pendidikan yang diterapkan dalam Negara berkembang adalah orientasi pembangunan. Akan tetapi, orientasi pembangunan yang diarahkan untuk mencapai stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomilah yang kemudian diletakan sebagai dasar dari orientasi pendidikan Negara berkembang, pada akhirnya menghasilkan kondisi yang bersebrangan dengan nilai sejati yang ingin dikembangkan oleh pendidikan itu sendiri. Pada kenyataannya para pelajar yang merupakan peserta didik dijejali seperangkat ilmu dan pengetahuan yang bersifat teknis dan berjauhan dari realitas sebenarnya, tanpa pernah diajak untuk mampu memahami problem-problem dalam ilmu pengetahuan yang didapat yang berkaitan dengan dunia yang mereka tempati.
Dalam kondisi inilah pendidikan terkesan dipaksakan untuk disahkan dari realitas sosial yang ada. Kondisi semacam ini semakin diperparah dengan keinginan Negara dalam melakukan “PEMBANGUNAN KARAKTER” warga negaranya, agar sesuai dengan ideology yang diamini Negara tersebut. Proses ini merupakan sebuah proses pengkristalan nilai-nilai kebangsaan yang dilakukan dengan cara menyuntikan pemahaman-pemahaman ideologis tentang karakter kebangsaan yang kaku melalui jalur pendidikan agar setiap peserta didik menjadi murid yang TAAT sesuai aturan yang diberlakukan. Proses inilah yang dinamakan dengan proses IDEOLOGISASI DALAM PENDIDIKAN.
Pada proses semacam ini, kita bisa melihat perbedaan yang mendasar antara ideology pendidikan dan ideologisasi pendidikan. Jika ideology pendidikan adalah seperangkat nilai dasar dari kerangka operasional dan orientasi sistem pendidikan yang ada, maka ideologisasi pendidikan adalah sebuah proses yang dilakukan dalam pendidikan dengan cara menanamkan seperangkat nilai yang diamini oleh sebuah kelompok berideologikan tertentu, untuk dijalankan secara kaku dan membelenggu.
Disinilah kesalahan yang terjadi, yakni terjadinya ideologisasi dalam pendidikan yang mengarahkan setiap individu sebagai seorang peserta didik terasing dari keinginan yang ada dalam dirinya, sehingga kebebasannya pun kemudian dibelenggu atas nama rencana pengembangan SDM. Dalam hal ini, pendidikan bukan lagi bergerak sebagai wahana kebudayaan yang sejatinya akan membuat individu mengeluarkan kemampuannya secara optimal, akan tetapi sebaliknya, membuat kemampuan individu tidak optimal. Karenanya dalam hal ini, terlihat bahwa ada motif keterpaksaan yang dibangun dalam nalar individu untuk memahami dan menjalani kehidupannya sebagai seorang peserta didik yang belajar di bangku sekolah, walhasil kemampuan nalar individu untuk membongkar fenomena disekelilingnya pun terdegradasi.
Dari kejadian ini, terlihat bahwa konstruksi pembangunan pemahaman dalam pendidikan yang tidak bersandar pada kebebasan individu untuk menjalani proses belajarnya, akan menghasilkan penegasian eksistensi dan kebebasan individu itu sendiri, sehingga tak jarang modus DROP OUT ataupun SKORSING dilakukan oleh otoritas yang berwenang dalam sekolah tersebut terhadap individu, tatkala mereka membangkang terhadap alur kebijakan yang telah ditetapkan.
Dari hal tersebut, saya melihat bahwa rumusan kebijakan pendidikan yang seperti ini, telah merepresentasikan sebuah konstuksi hegemoni ideology tertutup yang diideologisasikan, sehingga pendidikan terjebak menjadi instrument yang digunakan oleh pemiliki otoritas kekuasaan untuk mengontrol individu dalam sebuah Negara. Dari sisi ini pun, terlihat bahwa konsep pendidikan yang memerdekaan individu dalam memaknai realitasnya, akhirnya tergerus dan hilang karena ternegasikan oleh kepentingan politik yang berkuasa, yakni dengan menetapkan tujuan untuk menyetir, mengeksploitasi serta memisahkan individu dari realitas sosial yang secara personal melingkupinya.
Dari kondisi yang demikianlah, motif pendidikan akhirnya tereduksi untuk menjadi sebuah cara atau mekanisme kontrol ideologis penguasa terhadap warganya serta menjadikan pendidikan sebagai mekanisme reproduksi. Dalam kondisi yang kemudian, pendidikan akhirnya terjebak menjadi sebuah mekanisme PEMBOHONGAN yang dilakukan oleh PEMERINTAH. Hal ini terjadi karena konsepsi pendidikan yang demikian, jelaslah tidak berkorelasi dengan apa yang diinginkan oleh individu. Selain itu, konsepsi nilai yang dijadikan patokan jelas telah mencerabutkan individu dari apa yang lebih menjadi inti dari kenyataan yang dihadapinya dan juga menegasikan pilihan bebas individu dalam menjalani kehidupannya sendiri.
Secara lebih ekstrim mengutip apa yang dikatakan Helena Asri Sinawang, bahwa kecenderungan yang muncul pendidikan dipersempit menjadi “persekolahan” yang kemudian dipersempit lagi menjadi “pengajaran”. Selanjutnya pengajaran dipersempit kembali menjadi “pengajaran ruang kelas” dan semakin sempit menjadi penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target sempit seperti ujian. Penyempitan seperti ini hanya mengarah pada aspek kognitif dan intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia yang skolastik dan pandai secara intelektual namun kurang memiliki karakter yang utuh sebagai pribadi. Maka tak jarang cerminan warga Negara saat ini yang tidak berakhlak mulia korupsi, penyalahgunaan narkoba, kekerasan, kurang mandiri (konsumtif) dan tidak bertanggung jawab itulah wujudnya.
Pada posisi ini, reduksi makna yang dilakukan pada wilayah pendidikan inilah yang coba digugat ulang oleh Paulo Freire. Freire melihat bahwa pendidikan telah mengalami penyempitan makna dengan menjadikan proses ideologisasi yang terjadi didalamnya sebagai mekanisme kontrol, sehingga dalam proses pendidikan terjadilah apa yang disebut dengan “PENINDASAN”.
Penindasan yang dalam konteks ini, telah menandai munculnya individu-individu yang kemanusiaanya dirampas atau dengan kata lain disebut DEHUMANISASI menurut Freire. Proses penindasan dan dehumanisasi ini berjalan seiringan dengan DIBODOHINYA individu. Seperti halnya terjadi di sekolah-sekolah kebanyakan, guru mengajar murid belajar. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. Guru berpikir murid dipikirkan. Guru bicara murid mendengarkan. Guru mengatur, murid diatur. Guru memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya, guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid. Guru adalah subjek proses belajar dan murid menjadi objeknya.
Stigma yang mempersamakan manusia sebagai mahluk yang dapat disamakan dengan benda yang gampang diatur. Konsep pendidikan “GAYA BANK” tersebut akan memelihara kontradiksi, dan mempertajamnya sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid. Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dari makna yang sesungguhnya.
Implikasi logis dari apa yang dilaksanakan pendidikan seperti ini adalah tercerabutnya kesadaran individu dalam proses pembelajaran, sehingga kesadaran individu melihat realitas yang sebenarnya terjadi, seolah tertutupi dan berjalan tidak apa adanya. Posisi seperti ini, memungkinkan untuk tetap dilaksanakannya penindasan dan dominasi Negara terhadap hak-hak warga negaranya dan terlebih pada hak-hak individu.
Seharusnya, pendidikan merupakan sebuah wahana kebudayaan. Wahana yang dapat memfasilitasi manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan mengkreasikan pengetahuan. Hakikat pendidikan adalah untuk membuat manusia semakin dewasa, dan juga sebagai tempat manusia berproses menjadi dan menentukan dirinya sebagai pribadi dan individu. Pendidikan ada membuat manusia menjadi tahu, mengerti dan paham akan kondisinya sebagai manusia. Dari proses yang demikian, pendidikan menjadi sebuah tempat manusia merumuskan tujuan dan keinginan yang ingin dicapai dan diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Apabila pendidikan dipahami dari kerangka tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan pendidikan adalah wahana tempat lahirnya kebebasan, kehendak dan ekspresi. Pendidikan yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai pendidikan yang membebaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar