Oleh : Al Mubaraq
“Pendidikan
anak haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa, yaitu pendidikan yang mampu
membimbing anak agar menjadi orang-orang yang merdeka lahir dan batin”
“Ing
Ngrasa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani”
KI Hadjar
Dewantara
Keberadaan sebuah tatanan kehidupan suatu Negara biasanya selalu
diiringi oleh fondasi-fondasi yang dibangun untuk menjadi dasar dari Negara
tersebut. Hal tersebut sengaja dipersiapkan untuk membangun kerangka Negara
yang kuat dan mampu membuat Negara tersebut tetap berdiri untuk dapat
menghadapi setiap tantangan baik eksternal maupun internal.
Salah satu fondasi yang biasanya menjadi hal yang penting adalah
PENDIDIKAN. Pendidikan sejatinya merupakan suatu instrument yang berguna untuk
membantu warga Negara agar dapat menemukan dan mengembangkan potensi yang
dimiliki seoptimal mungkin. Kondisi seperti ini membuat pendidikan menjadi
sebuah fondasi dasar yang akhirnya selalu mendapat perhatian demi membangun
karakter warga Negara dan posisi ini akhirnya dilembagakan menjadi sekolah.
Konsepsi tentang pendidikan sebenarnya merupakan konsepsi umum yang
sejatinya sudah ada dalam pemikiran-pemikiran kuno, hal tersebbut bisa dilihat
dari adanya pemikiran-pemikiran dalam filsuf Yunani seperti Plato ataupun
Aristoteles yang telah memulai memperkenalkan pikirannya tentang konsep
pendidikan. Konsep yang diajukan oleh Plato adalah konsep pendidikan yang akan
dikembangkan dalam sebuah Negara. Demikian dengan Aristoteles yang mengemukakan konsepnya
tentang pendidikan untuk warga Negara. Perjalanan panjang pendidikan akhirnya
dilanjutkan sampai sekarang ini. Sehingga pendidikan dan keberadaan pendidikan
merupakan sebuah hal yang pasti dan tak mungkin tak ada dalam sebuah kehidupan
manusia dan Negara.
Akan tetapi, dalam perjalannya pendidikan telah mengalami metamorfosa.
Bila awalnya pendidikan merupakan tugas bersama seluruh warga Negara dan
Negara, lambat laun pendidikan digerus untuk disentralisir hanya menjadi tugas
Negara ataupun lembaga, sehingga pendidikan terjebak untuk dikooptasi dalam
makna yang cukup sempit yaitu SEKOLAH.
Sekolah, sebagai manifestasi dari konsep pendidikan yang dilembagakan
oleh Negara, tentunya memiliki visi dan orientasi. Dalam hal ini biasanya, visi
dan orientasi yang dimiliki oleh sekolah akan selalu sama ataupun disesuaikan
dengan visi dan orientasi ideology Negara. Hal ini dikarenakan, ideology
merupakan sebuah patokan dari sistem nilai, tindakan dan pemahaman yang ada
dalam kerangka kenegaraannya, dan pendidikan adalah bagian dari proses
pengembangan SDM, yang dipersiapkan untuk melanjutkan dan mengembangkan
kehidupan Negara kedepan, sehingga pertautan antara keduanya cukup erat.
Begitu pun yang terjadi pada Negara-Negara berkembang, visi dan
orientasi ideology pendidikannya selalu disesuaikan dengan visi dan orientasi
ideology politik Negara. Dalam kondisi ini, biasanya orientasi pendidikan yang
diterapkan dalam Negara berkembang adalah orientasi pembangunan. Akan tetapi,
orientasi pembangunan yang diarahkan untuk mencapai stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomilah yang kemudian diletakan sebagai dasar dari orientasi
pendidikan Negara berkembang, pada akhirnya menghasilkan kondisi yang
bersebrangan dengan nilai sejati yang ingin dikembangkan oleh pendidikan itu
sendiri. Pada kenyataannya para pelajar yang merupakan peserta didik dijejali
seperangkat ilmu dan pengetahuan yang bersifat teknis dan berjauhan dari
realitas sebenarnya, tanpa pernah diajak untuk mampu memahami problem-problem
dalam ilmu pengetahuan yang didapat yang berkaitan dengan dunia yang mereka
tempati.
Dalam kondisi inilah pendidikan terkesan dipaksakan untuk disahkan dari
realitas sosial yang ada. Kondisi semacam ini semakin diperparah dengan
keinginan Negara dalam melakukan “PEMBANGUNAN KARAKTER” warga negaranya, agar
sesuai dengan ideology yang diamini Negara tersebut. Proses ini merupakan sebuah
proses pengkristalan nilai-nilai kebangsaan yang dilakukan dengan cara
menyuntikan pemahaman-pemahaman ideologis tentang karakter kebangsaan yang kaku
melalui jalur pendidikan agar setiap peserta didik menjadi murid yang TAAT
sesuai aturan yang diberlakukan. Proses inilah yang dinamakan dengan proses
IDEOLOGISASI DALAM PENDIDIKAN.
Pada proses semacam ini, kita bisa melihat perbedaan yang mendasar
antara ideology pendidikan dan ideologisasi pendidikan. Jika ideology
pendidikan adalah seperangkat nilai dasar dari kerangka operasional dan
orientasi sistem pendidikan yang ada, maka ideologisasi pendidikan adalah
sebuah proses yang dilakukan dalam pendidikan dengan cara menanamkan
seperangkat nilai yang diamini oleh sebuah kelompok berideologikan tertentu,
untuk dijalankan secara kaku dan membelenggu.
Disinilah kesalahan yang terjadi, yakni terjadinya ideologisasi dalam
pendidikan yang mengarahkan setiap individu sebagai seorang peserta didik
terasing dari keinginan yang ada dalam dirinya, sehingga kebebasannya pun
kemudian dibelenggu atas nama rencana pengembangan SDM. Dalam hal ini,
pendidikan bukan lagi bergerak sebagai wahana kebudayaan yang sejatinya akan
membuat individu mengeluarkan kemampuannya secara optimal, akan tetapi
sebaliknya, membuat kemampuan individu tidak optimal. Karenanya dalam hal ini,
terlihat bahwa ada motif keterpaksaan yang dibangun dalam nalar individu untuk
memahami dan menjalani kehidupannya sebagai seorang peserta didik yang belajar
di bangku sekolah, walhasil kemampuan nalar individu untuk membongkar fenomena
disekelilingnya pun terdegradasi.
Dari kejadian ini, terlihat bahwa konstruksi pembangunan pemahaman dalam
pendidikan yang tidak bersandar pada kebebasan individu untuk menjalani proses
belajarnya, akan menghasilkan penegasian eksistensi dan kebebasan individu itu
sendiri, sehingga tak jarang modus DROP OUT ataupun SKORSING dilakukan oleh
otoritas yang berwenang dalam sekolah tersebut terhadap individu, tatkala
mereka membangkang terhadap alur kebijakan yang telah ditetapkan.
Dari hal tersebut, saya melihat bahwa rumusan kebijakan pendidikan yang
seperti ini, telah merepresentasikan sebuah konstuksi hegemoni ideology
tertutup yang diideologisasikan, sehingga pendidikan terjebak menjadi
instrument yang digunakan oleh pemiliki otoritas kekuasaan untuk mengontrol
individu dalam sebuah Negara. Dari sisi ini pun, terlihat bahwa konsep
pendidikan yang memerdekaan individu dalam memaknai realitasnya, akhirnya
tergerus dan hilang karena ternegasikan oleh kepentingan politik yang berkuasa,
yakni dengan menetapkan tujuan untuk menyetir, mengeksploitasi serta memisahkan
individu dari realitas sosial yang secara personal melingkupinya.
Dari kondisi yang demikianlah, motif pendidikan akhirnya tereduksi untuk
menjadi sebuah cara atau mekanisme kontrol ideologis penguasa terhadap warganya
serta menjadikan pendidikan sebagai mekanisme reproduksi. Dalam kondisi yang
kemudian, pendidikan akhirnya terjebak menjadi sebuah mekanisme PEMBOHONGAN
yang dilakukan oleh PEMERINTAH. Hal ini terjadi karena konsepsi pendidikan yang
demikian, jelaslah tidak berkorelasi dengan apa yang diinginkan oleh individu.
Selain itu, konsepsi nilai yang dijadikan patokan jelas telah mencerabutkan
individu dari apa yang lebih menjadi inti dari kenyataan yang dihadapinya dan
juga menegasikan pilihan bebas individu dalam menjalani kehidupannya sendiri.
Secara lebih ekstrim mengutip apa yang dikatakan Helena Asri Sinawang,
bahwa kecenderungan yang muncul pendidikan dipersempit menjadi “persekolahan”
yang kemudian dipersempit lagi menjadi “pengajaran”. Selanjutnya pengajaran
dipersempit kembali menjadi “pengajaran ruang kelas” dan semakin sempit menjadi
penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target sempit
seperti ujian. Penyempitan seperti ini hanya mengarah pada aspek kognitif dan
intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral dari
pendidikan itu sendiri terlupakan. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan
manusia yang skolastik dan pandai secara intelektual namun kurang memiliki
karakter yang utuh sebagai pribadi. Maka tak jarang cerminan warga Negara saat
ini yang tidak berakhlak mulia korupsi, penyalahgunaan narkoba, kekerasan,
kurang mandiri (konsumtif) dan tidak bertanggung jawab itulah wujudnya.
Pada posisi ini, reduksi makna yang dilakukan pada wilayah pendidikan
inilah yang coba digugat ulang oleh Paulo Freire. Freire melihat bahwa
pendidikan telah mengalami penyempitan makna dengan menjadikan proses
ideologisasi yang terjadi didalamnya sebagai mekanisme kontrol, sehingga dalam
proses pendidikan terjadilah apa yang disebut dengan “PENINDASAN”.
Penindasan yang dalam konteks ini, telah menandai munculnya
individu-individu yang kemanusiaanya dirampas atau dengan kata lain disebut DEHUMANISASI
menurut Freire. Proses penindasan dan dehumanisasi ini berjalan seiringan
dengan DIBODOHINYA individu. Seperti halnya terjadi di sekolah-sekolah kebanyakan,
guru mengajar murid belajar. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. Guru
berpikir murid dipikirkan. Guru bicara murid mendengarkan. Guru mengatur, murid
diatur. Guru memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti. Guru bertindak,
murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya, guru
memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru mengacaukan
wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan
mempertentangkannya dengan kebebasan murid. Guru adalah subjek proses belajar
dan murid menjadi objeknya.
Stigma yang mempersamakan manusia sebagai mahluk yang dapat disamakan
dengan benda yang gampang diatur. Konsep pendidikan “GAYA BANK” tersebut akan
memelihara kontradiksi, dan mempertajamnya sehingga mengakibatkan terjadinya
kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid. Murid hanya
mendengarkan, mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang
disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dari makna yang
sesungguhnya.
Implikasi logis dari apa yang dilaksanakan pendidikan seperti ini adalah
tercerabutnya kesadaran individu dalam proses pembelajaran, sehingga kesadaran
individu melihat realitas yang sebenarnya terjadi, seolah tertutupi dan
berjalan tidak apa adanya. Posisi seperti ini, memungkinkan untuk tetap
dilaksanakannya penindasan dan dominasi Negara terhadap hak-hak warga negaranya
dan terlebih pada hak-hak individu.
Seharusnya, pendidikan merupakan sebuah wahana kebudayaan. Wahana yang
dapat memfasilitasi manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan mengkreasikan
pengetahuan. Hakikat pendidikan adalah untuk membuat manusia semakin dewasa,
dan juga sebagai tempat manusia berproses menjadi dan menentukan dirinya
sebagai pribadi dan individu. Pendidikan ada membuat manusia menjadi tahu,
mengerti dan paham akan kondisinya sebagai manusia. Dari proses yang demikian,
pendidikan menjadi sebuah tempat manusia merumuskan tujuan dan keinginan yang
ingin dicapai dan diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Apabila pendidikan dipahami dari kerangka tersebut, maka dapat
dipastikan bahwa pendidikan pendidikan adalah wahana tempat lahirnya kebebasan,
kehendak dan ekspresi. Pendidikan yang seperti inilah yang kemudian disebut
sebagai pendidikan yang membebaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar