Rabu, 25 Mei 2016

Upgrading Pengurus dan Rapat Kerja BEM FH-UHO



 
Kiri        : Muhammad Takdir Al Mubaraq (Ketua BEM FH-UHO)
Tengah : Mufidah Nurul Esa (Sekretaris Jendral BEM FH-UHO)
Kanan   : La Ode Sabanudin (Wakil Ketua BEM FH-UHO)

Kegiatan Upgrading Pengurus dan Rapat Kerja Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UHO Periode 2015 – 2016 berlangsung selama 3 hari tanggal 27 – 29 April 2016. Kegiatan yang bertemakan “Mewujudkan Potensi Profesionalisme Mahassiwa Untuk Revolusi Fakultas Hukum UHO Lebih Berkualitas” ini dibuka langsung oleh Ibunda kami tercinta Ibu Heryanti, SH., MH selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum yang mewakili Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UHO, Dekan Fakultas Hukum UHO dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni yang pada saat dilangsungkan kegiatan ini berada diluar kota. Namun hal itu tidak menjadi kendala untuk melangsungkan kegiatan.
Acara pembukaan yang diselenggarakan di Gedung Aula Baru Fakultas Hukum UHO pukul 14.30 WITA ini yang dihadiri oleh tamu undangan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa, Ketua-Ketua Lembaga Semi Otonom (Komunitas Peradilan Semu, Pusat Kajian Konstitusi, Mapala Justice dan Lembaga Seni Mahasiswa Fakultas Hukum UHO) beserta dengan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa FH-UHO Periode 2015-2016. Acara pembukaan berjalan lancar tanpa ada kendala sekalipun.
Selanjutnya pada pukul 15.30 kegiatan Upgrading Pengurus BEM FH-UHO dilangsungkan. Maksud dan tujuan diadakannya Upgrading Pengurus ini adalah membekali Pengurus BEM FH-UHO Periode 2015-2016 dengan pemahaman seputar Materi-Materi Kelembagaan sehingga meningkatkatnya kualitas Sumber Daya Manusia BEM FH-UHO dalam mengemban dan menjalankan amanah sehingga terciptanya satu kesatuan sistem organisasi yang kokoh serta cerdas komprehensif dan professional.
Kegiatan yang berlangsung pada hari Rabu, 27 April 2016 ini dimulai dari jam 16.00 WITA bertempat di Sekretariat BEM FH-UHO Lantai 1 Gedung Fakultas Hukum UHO dimana Materi Pertama tentang Retorika dan Teknik Persidangan dibawakan oleh salah satu Mantan Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Kendari yaitu Imran, S.Pd. Materi ke-2 tentang Teknik Negosiasi dan Problem Solfing dibawakan oleh salah satu tenaga pendidika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UHO yaitu Arwah, S.Sos. Materi ke-3 tentang Management Administrasi dan Kesekretaritan dibawakan oleh Alumni FH-UHO, Selanjutnya Materi ke-4 tentang Management Kepemimpinan Organisasi dibawakan oleh Alumni FH-UMI angkatan 2008 yang sekaligus Dosen Fakultas Hukum UHO yang juga mantan Ketua Komisariat Hukum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makasar, L.M Tofik, SH., MH. Materi ke-5 tentang Dinamika Pergerakan Mahassiwa dibawakan oleh Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmun Politik Universitas Indonesia Timur angkatan 1999 yang juga mantan Jurnalis Tabloit Tempo, Sahrul, S.Sos. Dan materi terakhir, sebagai Materi Penutup tentang Pengantar Filsafat Ilmu dibawakan oleh salah satu Dosen Fakultas Hukum UHO yang juga mantan ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, La Patuju, S.Sos., MH.
Dari serangkaian materi yang dibawakan, yang berakhir pada pukul 01.30 WITA tersebut, setidaknya telah memberikan pemahaman baru kepada Pengurus BEM FH-UHO 2015-2016 tentang lingkup kelembagaan sehingga Insan Akademik yang diharapkan selain matang secara intelektual namun pula matang secara emosional dalam hal menjadi insan yang komunikatif dan mampu memberikan inovasi baru terhadap kepengurusan baru pada periode 2015-2016 ini.
            Setelah kegiatan Upgrading Pengurus dilakukan maka dengan bekal yang dimiliki oleh pengurus, pada hari Kamis sampai dengan Jumat 28-29 April 2016 kegiatan Rapat Kerja Pengurus BEM FH-UHO diselenggarakan. Dalam Rapat Kerja BEM FH-UHO dibagi dalam 3 sesi Sidang Pleno. Sidang Pleno Pertama membahas tentang Tata Tertib Rapat Kerja, Sidang Pleno 2 membahas tentang Program Kerja dan pada Sidang Pleno 3 menetapkan Tata Tertib dan Program Kerja BEM FH-UHO. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua BEM FH-UHO, Muhammad Takdir Al Mubaraq, Wakil Ketua BEM FH-UHO, La Ode Sabanudin dan Sekretaris Jendral BEM FH-UHO, Mufidah Nurul Esa.
            Kegiatan pembahasan Rapat Kerja Badan Eksekutif Mahassiwa Fakultas Hukum UHO dihadiri oleh seluruh pengurus BEM FH-UHO yang beranggotakan 35 orang anggota. Kegiatan yang dilaksanakan Kamis 28 April 2016 di Aula Baru Fakultas Hukum UHO ini dimulai dari pukul 15.00 WITA sampai dengan 22.00 WITA. Dan pada hari Jumat 29 April 2016 Program Kerja BEM FH-UHO ditetapkan oleh Pimpinan Sidang 3 pada pukul 22.30 WITA.
            Program kerja yang ditetapkan tersebut, dibagi menjadi 3 bentuk Program, Program Jangka Pendek, Program Jangka Menengah dan Program Jangka Panjang yang dimana total program yang dilahirkan dalam pembahasan tersebut menjadi 25 Program. Dengan ditetapkannya Program Kerja BEM FH-UHO, maka arah dan orientasi sebagaimana Visi dan Misi BEM FH-UHO Periode 2015-2016 dalam menjaring dan mewadahi potensi Mahasiswa Fakultas Hukum UHO baik dalam bidang Akademik dan Non Akademik.
Setelah berakhirnya rangkaian kegiatan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UHO Periode 2015 – 2016 di tutup dengan acara foto bersama oleh pengurus seluruh BEM FH-UHO Periode 2015-2016.

Senin, 23 Mei 2016

Pelatihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa FH-UHO 2015



 Dok : Peserta PLDKM, Tim Bantuan Medis FK-UHO, Pengurus BEM FH-UHO dan Security UHO

Lembaga kemahasiswaan adalah salah satu wadah dimana beberapa fungsi mahasiswa bisa diaplikasikan dalam pengabdian baik dalam internal maupun eksternal kampus. Sebagai “kawah candradimuka”nya mahasiswa, kampus merupakan basis sekaligus sumber potensi intelektual muda yang nantinya akan menentukan kemana arah bangsa ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa, menjelang kurang lebih 16 tahun pasca dibentuknya Lembaga Kemahasiswaan ini tentunya belum menemukan arah yang jelas seiring pergantian kepemimpinan. Perubahan sosial ditubuh BEM Fakultas Hukum Universitas Halu Oelo yang selalu diwarnai  konflik yang mengarahkan asumsi kita pada pokok persoalan yang melanda, yakni krisis kepemimpinan. Persoalan kepimipinan menyebabkan Lembaga yang menaungi intelektual-intelektual muda menjadi patahan-patahan yang kontra-produktif terhadap perkembangan kebutuhan mahasiswa.
Dalam usianya sekarang ini Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo harusnya kembali berbenah, kematangan berpikir dan berproses pengelolaan manajemen haruslah betul-betul sesuai dengan kebutuhan organisasi. Dalam peta gerakan Mahasiswa secara nasional, BEM FH-UHO terlebih itu lembaga-lembaga kemahasiswaan di lingkup Universitas Halu Oleo saat ini harus bisa melihat fenomena-fenomena kepemimpinan yang berkembang saat ini baik dalam konteks regional maupun nasional. Sebagai lembaga kemahasiswaan BEM FH-UHO seyogyanya melakukan rekonstruksi dalam hal pengkaderan untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin bangsa kedepan. Maka dari itu melalui latihan dasar kepemimpinan sampai dengan pendikan dan latihan manajemen kepemimpinan organisasi dimana keduanya terintegrasi dalam satu proses pengkaderan calon pemimpin bangsa dan negara yang bertanggung jawab, arif dan bijaksana sebagai salahsatu perwujudan dari nilai integritas.
Berangkat dari hal tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UHO dalam hal ini Departemen Pendidikan, Pelatihan dan Pengkaderan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Periode 2015-2016 guna mempersiapkan jebolan intelektualitas muda yang matang akan jiwa kepemimpinannya dalam mengelolah organisasi maupun lembaga kemahasiswaan serta mampu menciptakan perbedaan karakter kepemimpinan yang tidak monoton demi progresifitas dan perbaikan tatanan sosial untuk mewujudkan nilai-nilai integritas dalam kehidupan kampus yang demokratis.
Di dalam menghadapi tugas dan program BEM Fakultas Hukum kedepan, maka perlu sebuah kader berjiwa kepemimpinan dalam membangun karakter Mahasiswa Fakultas Hukum UHO yang baru terbentuk gempuran nilai global perlu lebih diketengahkan fakta kebhinekaan dalam setiap rumusan yang memuat kata persatuan dan kesatuan sehingga dalam implementasinya perlu lebih diberdayakan peranan dari mahasiswa. Hal itu dapat diwujudkan apabila dipenuhi adanya faktor-faktor dominan yaitu keteladanan kepemimpinan nasional, pendidikan yang berkualitas, dan bermoral kebangsaan.
Menyadari hal tersebut, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UHO perlu untuk mengadakan Latihan Dasar Kepemimpinan Angkatan 2015 ini bertemakan ““Rekonstruksi Karakter Pemimpin : Memantapkan Ideologi dan Keilmuan Mahasiswa Ditengah Globalisasi Menuju Fakultas Hukum UHO Bermartabat”. Kegiatan yang hanya diikut sertakan oleh 24 orang Tujuan dari diadakannya kegiatan ini adalah terbentuknya karakter kepemimpinan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo dalam pengelolaan manajemen organisasi, meningkatnya intelektualitas Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo Sebagai “Kawah candradimuka”nya dalam melaksanakan peran dan fungsi mahasiswa sebagai Agen of change, baik secara kualitatif maupun kuantitatif serta sebagai instrument dalam optimalisasi pengelolaan fungsi lembaga kemahasiswaan dalam partisipasi aktif, korektif dan konstruktif demi mewujudkan nilai-nilai integritas dalam kehidupan kampus yang demokratis.
Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 20 - 22 Mei 2016 bertempat di Pantai Toronipa ini diikut sertakan oleh 24 orang peserta yang terdiri dari 6 orang Mahasiswi dan 18 orang Mahasiswa. Terlihat sedikit tapi harapan dari terlaksananya kegiatan ini terlahirnya wajah-wajah baru sebagai perpanjang tangan kepemimpinan Fakultas Hukum UHO kedepan.

Senin, 02 Mei 2016

Penyempitan Makna Pendidikan



Spesial  Memperingat Hari Pendidikan Nasional
Oleh : Al Mubaraq
“Pendidikan anak haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa, yaitu pendidikan yang mampu membimbing anak agar menjadi orang-orang yang merdeka lahir dan batin”
“Ing Ngrasa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tutwuri Handayani”
KI Hadjar Dewantara
Keberadaan sebuah tatanan kehidupan suatu Negara biasanya selalu diiringi oleh fondasi-fondasi yang dibangun untuk menjadi dasar dari Negara tersebut. Hal tersebut sengaja dipersiapkan untuk membangun kerangka Negara yang kuat dan mampu membuat Negara tersebut tetap berdiri untuk dapat menghadapi setiap tantangan baik eksternal maupun internal.
Salah satu fondasi yang biasanya menjadi hal yang penting adalah PENDIDIKAN. Pendidikan sejatinya merupakan suatu instrument yang berguna untuk membantu warga Negara agar dapat menemukan dan mengembangkan potensi yang dimiliki seoptimal mungkin. Kondisi seperti ini membuat pendidikan menjadi sebuah fondasi dasar yang akhirnya selalu mendapat perhatian demi membangun karakter warga Negara dan posisi ini akhirnya dilembagakan menjadi sekolah.
Konsepsi tentang pendidikan sebenarnya merupakan konsepsi umum yang sejatinya sudah ada dalam pemikiran-pemikiran kuno, hal tersebbut bisa dilihat dari adanya pemikiran-pemikiran dalam filsuf Yunani seperti Plato ataupun Aristoteles yang telah memulai memperkenalkan pikirannya tentang konsep pendidikan. Konsep yang diajukan oleh Plato adalah konsep pendidikan yang akan dikembangkan dalam sebuah Negara. Demikian dengan  Aristoteles yang mengemukakan konsepnya tentang pendidikan untuk warga Negara. Perjalanan panjang pendidikan akhirnya dilanjutkan sampai sekarang ini. Sehingga pendidikan dan keberadaan pendidikan merupakan sebuah hal yang pasti dan tak mungkin tak ada dalam sebuah kehidupan manusia dan Negara.
Akan tetapi, dalam perjalannya pendidikan telah mengalami metamorfosa. Bila awalnya pendidikan merupakan tugas bersama seluruh warga Negara dan Negara, lambat laun pendidikan digerus untuk disentralisir hanya menjadi tugas Negara ataupun lembaga, sehingga pendidikan terjebak untuk dikooptasi dalam makna yang cukup sempit yaitu SEKOLAH.
Sekolah, sebagai manifestasi dari konsep pendidikan yang dilembagakan oleh Negara, tentunya memiliki visi dan orientasi. Dalam hal ini biasanya, visi dan orientasi yang dimiliki oleh sekolah akan selalu sama ataupun disesuaikan dengan visi dan orientasi ideology Negara. Hal ini dikarenakan, ideology merupakan sebuah patokan dari sistem nilai, tindakan dan pemahaman yang ada dalam kerangka kenegaraannya, dan pendidikan adalah bagian dari proses pengembangan SDM, yang dipersiapkan untuk melanjutkan dan mengembangkan kehidupan Negara kedepan, sehingga pertautan antara keduanya cukup erat.
Begitu pun yang terjadi pada Negara-Negara berkembang, visi dan orientasi ideology pendidikannya selalu disesuaikan dengan visi dan orientasi ideology politik Negara. Dalam kondisi ini, biasanya orientasi pendidikan yang diterapkan dalam Negara berkembang adalah orientasi pembangunan. Akan tetapi, orientasi pembangunan yang diarahkan untuk mencapai stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomilah yang kemudian diletakan sebagai dasar dari orientasi pendidikan Negara berkembang, pada akhirnya menghasilkan kondisi yang bersebrangan dengan nilai sejati yang ingin dikembangkan oleh pendidikan itu sendiri. Pada kenyataannya para pelajar yang merupakan peserta didik dijejali seperangkat ilmu dan pengetahuan yang bersifat teknis dan berjauhan dari realitas sebenarnya, tanpa pernah diajak untuk mampu memahami problem-problem dalam ilmu pengetahuan yang didapat yang berkaitan dengan dunia yang mereka tempati.
Dalam kondisi inilah pendidikan terkesan dipaksakan untuk disahkan dari realitas sosial yang ada. Kondisi semacam ini semakin diperparah dengan keinginan Negara dalam melakukan “PEMBANGUNAN KARAKTER” warga negaranya, agar sesuai dengan ideology yang diamini Negara tersebut. Proses ini merupakan sebuah proses pengkristalan nilai-nilai kebangsaan yang dilakukan dengan cara menyuntikan pemahaman-pemahaman ideologis tentang karakter kebangsaan yang kaku melalui jalur pendidikan agar setiap peserta didik menjadi murid yang TAAT sesuai aturan yang diberlakukan. Proses inilah yang dinamakan dengan proses IDEOLOGISASI DALAM PENDIDIKAN.
Pada proses semacam ini, kita bisa melihat perbedaan yang mendasar antara ideology pendidikan dan ideologisasi pendidikan. Jika ideology pendidikan adalah seperangkat nilai dasar dari kerangka operasional dan orientasi sistem pendidikan yang ada, maka ideologisasi pendidikan adalah sebuah proses yang dilakukan dalam pendidikan dengan cara menanamkan seperangkat nilai yang diamini oleh sebuah kelompok berideologikan tertentu, untuk dijalankan secara kaku dan membelenggu.
Disinilah kesalahan yang terjadi, yakni terjadinya ideologisasi dalam pendidikan yang mengarahkan setiap individu sebagai seorang peserta didik terasing dari keinginan yang ada dalam dirinya, sehingga kebebasannya pun kemudian dibelenggu atas nama rencana pengembangan SDM. Dalam hal ini, pendidikan bukan lagi bergerak sebagai wahana kebudayaan yang sejatinya akan membuat individu mengeluarkan kemampuannya secara optimal, akan tetapi sebaliknya, membuat kemampuan individu tidak optimal. Karenanya dalam hal ini, terlihat bahwa ada motif keterpaksaan yang dibangun dalam nalar individu untuk memahami dan menjalani kehidupannya sebagai seorang peserta didik yang belajar di bangku sekolah, walhasil kemampuan nalar individu untuk membongkar fenomena disekelilingnya pun terdegradasi.
Dari kejadian ini, terlihat bahwa konstruksi pembangunan pemahaman dalam pendidikan yang tidak bersandar pada kebebasan individu untuk menjalani proses belajarnya, akan menghasilkan penegasian eksistensi dan kebebasan individu itu sendiri, sehingga tak jarang modus DROP OUT ataupun SKORSING dilakukan oleh otoritas yang berwenang dalam sekolah tersebut terhadap individu, tatkala mereka membangkang terhadap alur kebijakan yang telah ditetapkan.
Dari hal tersebut, saya melihat bahwa rumusan kebijakan pendidikan yang seperti ini, telah merepresentasikan sebuah konstuksi hegemoni ideology tertutup yang diideologisasikan, sehingga pendidikan terjebak menjadi instrument yang digunakan oleh pemiliki otoritas kekuasaan untuk mengontrol individu dalam sebuah Negara. Dari sisi ini pun, terlihat bahwa konsep pendidikan yang memerdekaan individu dalam memaknai realitasnya, akhirnya tergerus dan hilang karena ternegasikan oleh kepentingan politik yang berkuasa, yakni dengan menetapkan tujuan untuk menyetir, mengeksploitasi serta memisahkan individu dari realitas sosial yang secara personal melingkupinya.
Dari kondisi yang demikianlah, motif pendidikan akhirnya tereduksi untuk menjadi sebuah cara atau mekanisme kontrol ideologis penguasa terhadap warganya serta menjadikan pendidikan sebagai mekanisme reproduksi. Dalam kondisi yang kemudian, pendidikan akhirnya terjebak menjadi sebuah mekanisme PEMBOHONGAN yang dilakukan oleh PEMERINTAH. Hal ini terjadi karena konsepsi pendidikan yang demikian, jelaslah tidak berkorelasi dengan apa yang diinginkan oleh individu. Selain itu, konsepsi nilai yang dijadikan patokan jelas telah mencerabutkan individu dari apa yang lebih menjadi inti dari kenyataan yang dihadapinya dan juga menegasikan pilihan bebas individu dalam menjalani kehidupannya sendiri.
Secara lebih ekstrim mengutip apa yang dikatakan Helena Asri Sinawang, bahwa kecenderungan yang muncul pendidikan dipersempit menjadi “persekolahan” yang kemudian dipersempit lagi menjadi “pengajaran”. Selanjutnya pengajaran dipersempit kembali menjadi “pengajaran ruang kelas” dan semakin sempit menjadi penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian target sempit seperti ujian. Penyempitan seperti ini hanya mengarah pada aspek kognitif dan intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia yang skolastik dan pandai secara intelektual namun kurang memiliki karakter yang utuh sebagai pribadi. Maka tak jarang cerminan warga Negara saat ini yang tidak berakhlak mulia korupsi, penyalahgunaan narkoba, kekerasan, kurang mandiri (konsumtif) dan tidak bertanggung jawab itulah wujudnya.
Pada posisi ini, reduksi makna yang dilakukan pada wilayah pendidikan inilah yang coba digugat ulang oleh Paulo Freire. Freire melihat bahwa pendidikan telah mengalami penyempitan makna dengan menjadikan proses ideologisasi yang terjadi didalamnya sebagai mekanisme kontrol, sehingga dalam proses pendidikan terjadilah apa yang disebut dengan “PENINDASAN”.
Penindasan yang dalam konteks ini, telah menandai munculnya individu-individu yang kemanusiaanya dirampas atau dengan kata lain disebut DEHUMANISASI menurut Freire. Proses penindasan dan dehumanisasi ini berjalan seiringan dengan DIBODOHINYA individu. Seperti halnya terjadi di sekolah-sekolah kebanyakan, guru mengajar murid belajar. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa. Guru berpikir murid dipikirkan. Guru bicara murid mendengarkan. Guru mengatur, murid diatur. Guru memilih memaksakan pilihannya, murid menuruti. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya, guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid. Guru adalah subjek proses belajar dan murid menjadi objeknya.
Stigma yang mempersamakan manusia sebagai mahluk yang dapat disamakan dengan benda yang gampang diatur. Konsep pendidikan “GAYA BANK” tersebut akan memelihara kontradiksi, dan mempertajamnya sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan tidak munculnya kesadaran kritis pada murid. Murid hanya mendengarkan, mencatat, menghafal dan mengulangi ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh guru, tanpa menyadari dan memahami arti dari makna yang sesungguhnya.
Implikasi logis dari apa yang dilaksanakan pendidikan seperti ini adalah tercerabutnya kesadaran individu dalam proses pembelajaran, sehingga kesadaran individu melihat realitas yang sebenarnya terjadi, seolah tertutupi dan berjalan tidak apa adanya. Posisi seperti ini, memungkinkan untuk tetap dilaksanakannya penindasan dan dominasi Negara terhadap hak-hak warga negaranya dan terlebih pada hak-hak individu.
Seharusnya, pendidikan merupakan sebuah wahana kebudayaan. Wahana yang dapat memfasilitasi manusia untuk mendapatkan pengetahuan dan mengkreasikan pengetahuan. Hakikat pendidikan adalah untuk membuat manusia semakin dewasa, dan juga sebagai tempat manusia berproses menjadi dan menentukan dirinya sebagai pribadi dan individu. Pendidikan ada membuat manusia menjadi tahu, mengerti dan paham akan kondisinya sebagai manusia. Dari proses yang demikian, pendidikan menjadi sebuah tempat manusia merumuskan tujuan dan keinginan yang ingin dicapai dan diciptakan oleh manusia itu sendiri.
Apabila pendidikan dipahami dari kerangka tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan pendidikan adalah wahana tempat lahirnya kebebasan, kehendak dan ekspresi. Pendidikan yang seperti inilah yang kemudian disebut sebagai pendidikan yang membebaskan.