Pengadaan kepolisian oleh pemerintah
Hindia Belanda di Indonesia didasari
adanya kepentingan untuk mengamankan tanah jajahan yang semakin meluas, dimana
aparat kepolisian bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum untuk
mengamankan kerja-kerja pemerintah colonial.
Dibawah kekuasaan Gubernur Jendral,
kepolisian Kolonial dianggap sudah bekerja secara professional dimana mereka
difungsikan untuk menumpas kerusuhan, kriminalitas, dan ancaman dalam negeri
dengan perintah dan otoritas penuh gubernur jendral. Dalam administrasi Pemerintah
Kolonial kepolisian masih berada di bawah Departemen
Pemerintah Dalam Negeri sebagai Dinas Kepolisian Umum.
Beberapa waktu setelah Proklamasi, tepatnya 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
memutuskan untuk menempatkan kepolisian sebagai bagian dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Pembentukan lembaga kepolisian dua hari seteleh kemerdekaan berangkat dari
kesadaran para pendiri Negara akan pentingnya lembaga kepolisian dalam suatu
Negara yang mengemban tugas untuk menjaga ketertiban masayarakat, mengayomi
masyarakat dan menegakan hukum dalam suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada tanggal 1 Juni 1946 Jawatan
Kepolisian Republik Indonesia berdiri sendiri dan langsung bertanggung jawab
kepada kepala Pemerintahan yaitu Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Perubahan
yang didasari oleh luasnya tuntutan peran dan tugas Kepolisian Negara, terutama
dalam rangka penggalangan kekuatan menghadapi agresi militer Belanda sehingga
tidak mungkin untuk tetap dipertahankan berada dibawah Departemen Dalam Negeri.
Sejak hari itulah sehingga 1 Juni diperingati
sebagai Hari Bhayangkara, dengan
mengambil momentum penempatan Kepolisian berada dibawah Pemerintahan Sipil
Perdana Menteri sebagai hari bersejarahnya.
Awal tahun 1960, MPRS menetapkan
Kepolisian Negara diintegrasikan ke dalam wadah Angkatan Bersenjata,
bersama-sama dengan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Keputusan yang kemudian
dipertegas dengan dikeluarkannya UU No.
13 Tahun 1961. Upaya untuk menciptakan Kepolisian
yang berwatak Militeristik
sebenarnya telah sejak awal kemerdekaan, meskipun dengan alasan darurat perang
kemerdekaan menghadapi agresi militer belanda, sebab ternyata setelah masa
darurat berakhir, keberadaan kepolisian sebagai bagian dari kekuatan militer
justru semakin dikukuhkan.
Pemerintahan Orde Baru dibawah Jendral Soeharto sampai dengan tumbangnya tidak melakukan perubahan
yang signifikan di tubuh Polri baik pada tingkat struktural maupun
instrumental. Keppres No. 52 tahun 1969
tentang perubahan lembaga kepolisian justru tetap membiarkan atauu mengukuhkan
kedudukan kepolisian sebagai komponen dari Angkatan Bersenjata.
Konsekuensi kedudukan Polri sebagai salah satu komponen
ABRI adalah sistem-sistem yang berlaku di Polri merupakan sub sistem dari
sistem yang berlaku di ABRI, meluputi sistem pembinaan personil, sistem
pendidikan, sistem anggaran, sistem operasional dan sistem-sistem lainnya.
Lebih jauh lagi Panglima ABRI memiliki kewenangan untuk mengendalikan langsung
Polri dibawah payung ABRI.
Secara esensial fungsi
Kepolisian adalah sebagai aparat penegak hukum, yang termasuk didalamnya
aspek perlindungan HAM. Sementara sebagaimana kita ketahui, banyak tindakan
operasional ABRI yang jelas-jelas melanggar HAM yang juga melibatkan Polri.
Tindakan Polri yang melanggar HAM tersebut akan menjadi sah dengan alasan menjalankan
tugas sehingga menjadi mustahil untuk menuntut aparat kepolisian terlibat
melakukan penyidikan pelanggaran hukum tersebut. Tindakan kekerasan yang
dilakukan ABRI sejak awal Orde Baru dengan berpegang pada doktrin Dwifungsi menunjukan bahwa ABRI telah berpolitik dengan
menggunakan senjata, maka keahlian itulah yang digunakan saat militer
berpolitik.
Akibat ketidakmandirian secara kelembagaan, aparat kepolisian menjadi
kehilangan profesionalismenya dimana tugas-tugas penegakan hukum menjadi bias
kepentingan melindungi institusi payungnya dalam banyak kasus pada masa Orde
Baru. Dalam kasus yang melibatkan institusi kepolisian secara langsung sebagai
pelaku, apakah mungkin jika kepolisian untuk dibebani tanggung jawab penyidikan
terhadap diri mereka sendiri, sementara secara institusional kepolisian
seringkali berkelit dengan menyatakan bahwa tindakan mereka sudah sesuai dengan
prosedur. Padahal masyatakat tengah membutuhkan kehadiran sosok polisi yang
baik, professional dan mandiri dengan kemandirian personil, doktrin, dan sistem
operasional tanpa tekanan pihak manapun.
Sejak era Reformasi bergulir
yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998, seluruh lembaga Negara,
terutama yang tugas dan tanggungjawabnya berkaitan langsung dengan kepentingan
publik dilanda demam reformasi. Ini tuntutan publik, tuntutan perubahan zaman
dalam hal itu mensyaratkan agar semua stake holder lembaga Negara mempersiapkan
diri untuk menjadi bagian dari lembaga publik. Seiring dengan reformasi
tersebut yang memiliki agenda secara nasioanal, yaitu reformasi dalam bidang
politik, ekonomi dan hukum. Polri juga menjadi sasarqan utama untuk direformasi
karena reformasi ini merupakan reaksi keras masyarakat terhadap praktek
penyelenggaraan Negara.
Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga yang mendapat
sorotan tajam dari masyarakat dalam hal pelayanan publik. Masih banyaknya
terdapat praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) serta diskriminasi dalam melayani masyarakat oleh Polri
menjadikan lembaga ini mendapat perhatian besar oleh masyarakat untuk
direformasi. Apa yang diharapkan oleh masyarakat dari gelombang reformasi
benar-benar menggambarkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap adanya
perubahan ditubuh Polri.
Tuntutan reformasi oleh semua kalangan di tahun 1998 diantaranya adalah
pembebasan Dwifungsi ABRI menemui hasil. Secara resmi, Kepolisian RI mulai 1 Januari 2001 tidak lagi dibawah Departemen Pertanahan, tetapi langsung berada
dibawah Presiden. Perubahan struktur
organisasi kepolisian yang tidak lagi dibawah organisasi militer ini diakui
atau tidak diakui adalah merupakan hasil dari perubahan politik yang didorong
oleh elemn-elemen civil society.
Kedudukan Kapolri menjadi setingkat menteri negaraseperti halnya Jaksa
Agung. Perubahan ini juga disertai dengan struktur kepangkatan Polri, yang
tidak lagi menggunakan sistem kepangkatan mliter tapi sistem kepolisian yang
berlaku umum di dunia, dimana hal ini melahirkan harapan bahwa Polri dalam
menjalankan tugasnya tidak lagi berwatak
militeristik.
Namun, sampai saat ini hal tersebut belum
dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh Kepolisian. Dimana dalam menjalankan
tugas dan fungsinya aparat kepolisian masih memakai Sistem Militerisme. Hal ini dapat lihat dari beberapa peristiwa
yang terjadi, aparat lebih sering melakukan penembakan ketika berhadapan dengan
masyarakat sipil dan dalam setiap peristiwa masyakat sipil selalu menjadi
korban.
Aparat kepolisian ketika melaksanakan tugasnya banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia didalam
berbagai kasus yang diberitakan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Seringkali
aparat kepolisian memperlihatkan bagaimana mereka saat melaksanakan tugasnya sering tidak mengindahkan prosedural
yang ada dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sering pula diabaikan. Perlakuan yang sering dipertontonkan oleh Polisi diantaranya adalah penangkapan yang tidak
dilengkapi oleh surat penangkapan, ada pula mereka yang ditembak dengan jarak
yang relatif dekat padahal tidak ada perlawanan, salah tangkap terhadap pelaku
kejahatan, kekerasan terhadap tersangka untuk mendapatkan pengakuan,
jebakan-jebakan untuk mendapatkan keuntungan tertentu, pemerasan dijalanan,
beking perjudian dan masih banyak lagi.
Sepanjang tahun 2015 data yang dihimpun oleh Kontras pada bulan Januari – Juni 2015 terdapat 38 orang menjadi
korban dalam atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri khusus
untuk kawasan Sulawesi. Tak hanya itu, praktik penyiksaan dalam tahanan sebagai
upaya menggali informasi dari para tersangka kasus tertentu yang biasa dilakukan
oleh aparat kepolisian saat melakukan proses interogasi. Kasus penembakan oleh aparat kepolisian tahun 2015 mencapai 27
kasus, salah tangkap 18 kasus, pembatasan kebebasan 13 kasus, intimidasi 9 kasus dan penyiksaan 4 kasus. Dari rentetan
peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam
menjalankan tugasnya dilapangan, yang menyita perhatian khusus adalah penggunaan senjata api oleh aparat
kepolisian. Sebagaiamana data yang dihimpun oleh Kontras dari 27 kasus
penembakan oleh aparat kepolisian 18 peristiwa diantaranya adalah peristiwa salah tembak (http://makassar.antaranews.com/berita/66117/kontras-beri-catatan-evaluasi-kinerja-polri
2015).
Fakta historis inilah yang mengarah pada
perumusan jati diri yang militerisitik. Tidak secara serta merta
mampu direduksi oleh Polri dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000
tentang Pemisahan POLRI dan TNI serta TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang TNI
dan POLRI yang dikuatkan dengan lahirnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian. Kenyataan perubahan yang ada belum memenuhi harapan. Polri masih
mengunakan watak, ideologi dan sikap yang militeristik dalam menjalankan
tugasnya. Dalam operasional banyak tindakan polisi yang secara kasat mata
melanggar HAM. Memang tidak dapat disangkal dunia kepolisian penuh dengan
kekerasan seperti yang dikatakan oleh Sutherland Kriminolog asal Amerika
Serikat, bahwa polisi dalam pekerjaannya sehari-harinya sering bergaul dengan
dunia kekerasan. Dalam tugas memelihara Kamtibmas, polisi selalu bergulat
dengan sosok perilaku manusia yang namanya kekerasan dan kejahatan. Di tengah maraknya
aksi kejahatan sekarang ini tugas polisi tidaklah ringan. Setelah pemisahan
dari TNI, maka tanggung jawab Kamtibmas dalam negeri sepenuhnya berada di punda
Polri. Munculnya deviasi akibat beratnya tugas yang diemban polisi adalah hal
wajar. Namun institusi Polri tetap tidak boleh membiarkan penyimpangan yang
dilakukan oleh anggotanya, karena dapat melukai hari rakyat.
Penyimpangan yang dilakukan oleh Kepolisian dengan menyalahgunakan wewenang
dan kepercayaan yang diberikan kepadanya akan mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi. Memudarnya
wibawa polisi akan mengarah kepada suatu instabilitas keamanan, akan mendorong tindakan anarkis dari masyarakat.
Memudarnya wibawa polisi ini sama artinya menyeret Polri kembali ke dalam
situasi tidak menguntungkan (David L. Carte, Direktur Program
Intelijen Michigan State University). Memudarnya pencitraan dan wibawa polisi
salah satunya disebabkan oleh perilaku
militeristik dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terkait dengan masih
bercokohnya budaya militeristik dalam rahim
pendidikan Polri khususnya pada tindakan kekerasan melawan prinsip dasar demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Kendati demikian, akan terus menjadi suatu permasalahan yang kompleks jika
hal ini dibiarkan. Penegakan hukum yang tidak sesuai dengan norma atau
ketentuan yang telah ada akan mudah dan
cepat mendapat reaksi serta sorotan dari masyarakat, apalagi jika
penyimpangan tersebut dilakukan oleh
aparat penegak hukum yang berakibat munculnya pelanggaran HAM. Hal ini
menandakan bahwa masyarakat telah kritis dan mempunyai kepedulian dalam
mengantisipasi kejadian-kejadian yang timbul yang berhubungan dengan penegakan
hukum dan mengenai sesuatu yang menyimpang dari HAM, hal tersebut tidak boleh terulang kembali, untuk itu
supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan
dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketidakadilan
tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindak
lanjuti dan dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi. Reformasi aparat pemerintah dengan
mengubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan mengadakan
reformasi dibidang struktural, invromental dan kultural multlak dilakukan dalam
rangka meningkatkan kualitas Polri
sebagai pelayan publik untuk mencegah
terjadinya berbagai bentuk sikap
Militeristik yang menciderai Hak Asasi Manusia.
Muhammad Takdir Al Mubaraq
Ketua BEM Fakultas Hukum UHO