Selasa, 21 Juni 2016

Masih Dibawah Bayangan Militer



Pengadaan kepolisian oleh pemerintah Hindia Belanda di Indonesia didasari adanya kepentingan untuk mengamankan tanah jajahan yang semakin meluas, dimana aparat kepolisian bertugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum untuk mengamankan kerja-kerja pemerintah colonial.
Dibawah kekuasaan Gubernur Jendral, kepolisian Kolonial dianggap sudah bekerja secara professional dimana mereka difungsikan untuk menumpas kerusuhan, kriminalitas, dan ancaman dalam negeri dengan perintah dan otoritas penuh gubernur jendral. Dalam administrasi Pemerintah Kolonial kepolisian masih berada di bawah Departemen Pemerintah Dalam Negeri sebagai Dinas Kepolisian Umum.

            Beberapa waktu setelah Proklamasi, tepatnya 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan memutuskan untuk menempatkan kepolisian sebagai bagian dari Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia. Pembentukan lembaga kepolisian dua hari seteleh kemerdekaan berangkat dari kesadaran para pendiri Negara akan pentingnya lembaga kepolisian dalam suatu Negara yang mengemban tugas untuk menjaga ketertiban masayarakat, mengayomi masyarakat dan menegakan hukum dalam suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.
Pada tanggal 1 Juni 1946 Jawatan Kepolisian Republik Indonesia berdiri sendiri dan langsung bertanggung jawab kepada kepala Pemerintahan yaitu Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Perubahan yang didasari oleh luasnya tuntutan peran dan tugas Kepolisian Negara, terutama dalam rangka penggalangan kekuatan menghadapi agresi militer Belanda sehingga tidak mungkin untuk tetap dipertahankan berada dibawah Departemen Dalam Negeri. Sejak hari itulah sehingga 1 Juni diperingati sebagai Hari Bhayangkara, dengan mengambil momentum penempatan Kepolisian berada dibawah Pemerintahan Sipil Perdana Menteri sebagai hari bersejarahnya.

Awal tahun 1960, MPRS menetapkan Kepolisian Negara diintegrasikan ke dalam wadah Angkatan Bersenjata, bersama-sama dengan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Keputusan yang kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 1961. Upaya untuk menciptakan Kepolisian yang berwatak Militeristik sebenarnya telah sejak awal kemerdekaan, meskipun dengan alasan darurat perang kemerdekaan menghadapi agresi militer belanda, sebab ternyata setelah masa darurat berakhir, keberadaan kepolisian sebagai bagian dari kekuatan militer justru semakin dikukuhkan.
            Pemerintahan Orde Baru dibawah Jendral Soeharto sampai dengan tumbangnya tidak melakukan perubahan yang signifikan di tubuh Polri baik pada tingkat struktural maupun instrumental. Keppres No. 52 tahun 1969 tentang perubahan lembaga kepolisian justru tetap membiarkan atauu mengukuhkan kedudukan kepolisian sebagai komponen dari Angkatan Bersenjata.
            Konsekuensi kedudukan Polri sebagai salah satu komponen ABRI adalah sistem-sistem yang berlaku di Polri merupakan sub sistem dari sistem yang berlaku di ABRI, meluputi sistem pembinaan personil, sistem pendidikan, sistem anggaran, sistem operasional dan sistem-sistem lainnya. Lebih jauh lagi Panglima ABRI memiliki kewenangan untuk mengendalikan langsung Polri dibawah payung ABRI.
            Secara esensial fungsi Kepolisian adalah sebagai aparat penegak hukum, yang termasuk didalamnya aspek perlindungan HAM. Sementara sebagaimana kita ketahui, banyak tindakan operasional ABRI yang jelas-jelas melanggar HAM yang juga melibatkan Polri. Tindakan Polri yang melanggar HAM tersebut akan menjadi sah dengan alasan menjalankan tugas sehingga menjadi mustahil untuk menuntut aparat kepolisian terlibat melakukan penyidikan pelanggaran hukum tersebut. Tindakan kekerasan yang dilakukan ABRI sejak awal Orde Baru dengan berpegang pada doktrin Dwifungsi menunjukan bahwa ABRI telah berpolitik dengan menggunakan senjata, maka keahlian itulah yang digunakan saat militer berpolitik.
Akibat ketidakmandirian secara kelembagaan, aparat kepolisian menjadi kehilangan profesionalismenya dimana tugas-tugas penegakan hukum menjadi bias kepentingan melindungi institusi payungnya dalam banyak kasus pada masa Orde Baru. Dalam kasus yang melibatkan institusi kepolisian secara langsung sebagai pelaku, apakah mungkin jika kepolisian untuk dibebani tanggung jawab penyidikan terhadap diri mereka sendiri, sementara secara institusional kepolisian seringkali berkelit dengan menyatakan bahwa tindakan mereka sudah sesuai dengan prosedur. Padahal masyatakat tengah membutuhkan kehadiran sosok polisi yang baik, professional dan mandiri dengan kemandirian personil, doktrin, dan sistem operasional tanpa tekanan pihak manapun.

Sejak era Reformasi bergulir yang dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998, seluruh lembaga Negara, terutama yang tugas dan tanggungjawabnya berkaitan langsung dengan kepentingan publik dilanda demam reformasi. Ini tuntutan publik, tuntutan perubahan zaman dalam hal itu mensyaratkan agar semua stake holder lembaga Negara mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari lembaga publik. Seiring dengan reformasi tersebut yang memiliki agenda secara nasioanal, yaitu reformasi dalam bidang politik, ekonomi dan hukum. Polri juga menjadi sasarqan utama untuk direformasi karena reformasi ini merupakan reaksi keras masyarakat terhadap praktek penyelenggaraan Negara.
Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga yang mendapat sorotan tajam dari masyarakat dalam hal pelayanan publik. Masih banyaknya terdapat praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta diskriminasi dalam melayani masyarakat oleh Polri menjadikan lembaga ini mendapat perhatian besar oleh masyarakat untuk direformasi. Apa yang diharapkan oleh masyarakat dari gelombang reformasi benar-benar menggambarkan betapa besarnya harapan masyarakat terhadap adanya perubahan ditubuh Polri.
Tuntutan reformasi oleh semua kalangan di tahun 1998 diantaranya adalah pembebasan Dwifungsi ABRI menemui hasil. Secara resmi, Kepolisian RI mulai 1 Januari 2001 tidak lagi dibawah Departemen Pertanahan, tetapi langsung berada dibawah Presiden. Perubahan struktur organisasi kepolisian yang tidak lagi dibawah organisasi militer ini diakui atau tidak diakui adalah merupakan hasil dari perubahan politik yang didorong oleh elemn-elemen civil society.
Kedudukan Kapolri menjadi setingkat menteri negaraseperti halnya Jaksa Agung. Perubahan ini juga disertai dengan struktur kepangkatan Polri, yang tidak lagi menggunakan sistem kepangkatan mliter tapi sistem kepolisian yang berlaku umum di dunia, dimana hal ini melahirkan harapan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya tidak lagi berwatak militeristik.
Namun, sampai saat ini hal tersebut belum dapat dilaksanakan dan dipenuhi oleh Kepolisian. Dimana dalam menjalankan tugas dan fungsinya aparat kepolisian masih memakai Sistem Militerisme. Hal ini dapat lihat dari beberapa peristiwa yang terjadi, aparat lebih sering melakukan penembakan ketika berhadapan dengan masyarakat sipil dan dalam setiap peristiwa masyakat sipil selalu menjadi korban.
Aparat kepolisian ketika melaksanakan tugasnya banyak terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia didalam berbagai kasus yang diberitakan oleh media, baik cetak maupun elektronik. Seringkali aparat kepolisian memperlihatkan bagaimana mereka saat melaksanakan tugasnya sering tidak mengindahkan prosedural yang ada dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia sering pula diabaikan. Perlakuan yang sering dipertontonkan oleh Polisi diantaranya adalah penangkapan yang tidak dilengkapi oleh surat penangkapan, ada pula mereka yang ditembak dengan jarak yang relatif dekat padahal tidak ada perlawanan, salah tangkap terhadap pelaku kejahatan, kekerasan terhadap tersangka untuk mendapatkan pengakuan, jebakan-jebakan untuk mendapatkan keuntungan tertentu, pemerasan dijalanan, beking perjudian dan masih banyak lagi.
Sepanjang tahun 2015 data yang dihimpun oleh Kontras pada bulan Januari – Juni 2015 terdapat 38 orang menjadi korban dalam atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri khusus untuk kawasan Sulawesi. Tak hanya itu, praktik penyiksaan dalam tahanan sebagai upaya menggali informasi dari para tersangka kasus tertentu yang biasa dilakukan oleh aparat kepolisian saat melakukan proses interogasi. Kasus penembakan oleh aparat kepolisian tahun 2015 mencapai 27 kasus, salah tangkap 18 kasus, pembatasan kebebasan 13 kasus, intimidasi 9 kasus dan penyiksaan 4 kasus. Dari rentetan peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya dilapangan, yang menyita perhatian khusus adalah penggunaan senjata api oleh aparat kepolisian. Sebagaiamana data yang dihimpun oleh Kontras dari 27 kasus penembakan oleh aparat kepolisian 18 peristiwa diantaranya adalah peristiwa salah tembak (http://makassar.antaranews.com/berita/66117/kontras-beri-catatan-evaluasi-kinerja-polri 2015).
Fakta historis inilah yang mengarah pada perumusan jati diri yang militerisitik. Tidak secara serta merta mampu direduksi oleh Polri dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan POLRI dan TNI serta TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang TNI dan POLRI yang dikuatkan dengan lahirnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Kenyataan perubahan yang ada belum memenuhi harapan. Polri masih mengunakan watak, ideologi dan sikap yang militeristik dalam menjalankan tugasnya. Dalam operasional banyak tindakan polisi yang secara kasat mata melanggar HAM. Memang tidak dapat disangkal dunia kepolisian penuh dengan kekerasan seperti yang dikatakan oleh Sutherland Kriminolog asal Amerika Serikat, bahwa polisi dalam pekerjaannya sehari-harinya sering bergaul dengan dunia kekerasan. Dalam tugas memelihara Kamtibmas, polisi selalu bergulat dengan sosok perilaku manusia yang namanya kekerasan dan kejahatan. Di tengah maraknya aksi kejahatan sekarang ini tugas polisi tidaklah ringan. Setelah pemisahan dari TNI, maka tanggung jawab Kamtibmas dalam negeri sepenuhnya berada di punda Polri. Munculnya deviasi akibat beratnya tugas yang diemban polisi adalah hal wajar. Namun institusi Polri tetap tidak boleh membiarkan penyimpangan yang dilakukan oleh anggotanya, karena dapat melukai hari rakyat.
Penyimpangan yang dilakukan oleh Kepolisian dengan menyalahgunakan wewenang dan kepercayaan yang diberikan kepadanya akan mendorong terjadinya pemudaran wibawa polisi. Memudarnya wibawa polisi akan mengarah kepada suatu instabilitas keamanan, akan mendorong tindakan anarkis dari masyarakat. Memudarnya wibawa polisi ini sama artinya menyeret Polri kembali ke dalam situasi tidak menguntungkan (David L. Carte, Direktur Program Intelijen Michigan State University). Memudarnya pencitraan dan wibawa polisi salah satunya disebabkan oleh perilaku militeristik dalam menjalankan tugasnya. Hal ini terkait dengan masih bercokohnya budaya militeristik dalam rahim pendidikan Polri khususnya pada tindakan kekerasan melawan prinsip dasar demokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Kendati demikian, akan terus menjadi suatu permasalahan yang kompleks jika hal ini dibiarkan. Penegakan hukum yang tidak sesuai dengan norma atau ketentuan yang telah ada akan mudah dan cepat mendapat reaksi serta sorotan dari masyarakat, apalagi jika penyimpangan tersebut dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berakibat munculnya pelanggaran HAM. Hal ini menandakan bahwa masyarakat telah kritis dan mempunyai kepedulian dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang timbul yang berhubungan dengan penegakan hukum dan mengenai sesuatu yang menyimpang dari HAM, hal tersebut tidak boleh terulang kembali, untuk itu supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan, pendekatan hukum dan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus ditindak lanjuti dan dilakukan pembenahan atas segala kekurangan yang terjadi. Reformasi aparat pemerintah dengan mengubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan mengadakan reformasi dibidang struktural, invromental dan kultural multlak dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas Polri sebagai pelayan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk sikap Militeristik yang menciderai Hak Asasi Manusia.

Muhammad Takdir Al Mubaraq
Ketua BEM Fakultas Hukum UHO

Rabu, 25 Mei 2016

Upgrading Pengurus dan Rapat Kerja BEM FH-UHO



 
Kiri        : Muhammad Takdir Al Mubaraq (Ketua BEM FH-UHO)
Tengah : Mufidah Nurul Esa (Sekretaris Jendral BEM FH-UHO)
Kanan   : La Ode Sabanudin (Wakil Ketua BEM FH-UHO)

Kegiatan Upgrading Pengurus dan Rapat Kerja Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UHO Periode 2015 – 2016 berlangsung selama 3 hari tanggal 27 – 29 April 2016. Kegiatan yang bertemakan “Mewujudkan Potensi Profesionalisme Mahassiwa Untuk Revolusi Fakultas Hukum UHO Lebih Berkualitas” ini dibuka langsung oleh Ibunda kami tercinta Ibu Heryanti, SH., MH selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum yang mewakili Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UHO, Dekan Fakultas Hukum UHO dan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni yang pada saat dilangsungkan kegiatan ini berada diluar kota. Namun hal itu tidak menjadi kendala untuk melangsungkan kegiatan.
Acara pembukaan yang diselenggarakan di Gedung Aula Baru Fakultas Hukum UHO pukul 14.30 WITA ini yang dihadiri oleh tamu undangan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa, Ketua-Ketua Lembaga Semi Otonom (Komunitas Peradilan Semu, Pusat Kajian Konstitusi, Mapala Justice dan Lembaga Seni Mahasiswa Fakultas Hukum UHO) beserta dengan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa FH-UHO Periode 2015-2016. Acara pembukaan berjalan lancar tanpa ada kendala sekalipun.
Selanjutnya pada pukul 15.30 kegiatan Upgrading Pengurus BEM FH-UHO dilangsungkan. Maksud dan tujuan diadakannya Upgrading Pengurus ini adalah membekali Pengurus BEM FH-UHO Periode 2015-2016 dengan pemahaman seputar Materi-Materi Kelembagaan sehingga meningkatkatnya kualitas Sumber Daya Manusia BEM FH-UHO dalam mengemban dan menjalankan amanah sehingga terciptanya satu kesatuan sistem organisasi yang kokoh serta cerdas komprehensif dan professional.
Kegiatan yang berlangsung pada hari Rabu, 27 April 2016 ini dimulai dari jam 16.00 WITA bertempat di Sekretariat BEM FH-UHO Lantai 1 Gedung Fakultas Hukum UHO dimana Materi Pertama tentang Retorika dan Teknik Persidangan dibawakan oleh salah satu Mantan Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Kendari yaitu Imran, S.Pd. Materi ke-2 tentang Teknik Negosiasi dan Problem Solfing dibawakan oleh salah satu tenaga pendidika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UHO yaitu Arwah, S.Sos. Materi ke-3 tentang Management Administrasi dan Kesekretaritan dibawakan oleh Alumni FH-UHO, Selanjutnya Materi ke-4 tentang Management Kepemimpinan Organisasi dibawakan oleh Alumni FH-UMI angkatan 2008 yang sekaligus Dosen Fakultas Hukum UHO yang juga mantan Ketua Komisariat Hukum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Makasar, L.M Tofik, SH., MH. Materi ke-5 tentang Dinamika Pergerakan Mahassiwa dibawakan oleh Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmun Politik Universitas Indonesia Timur angkatan 1999 yang juga mantan Jurnalis Tabloit Tempo, Sahrul, S.Sos. Dan materi terakhir, sebagai Materi Penutup tentang Pengantar Filsafat Ilmu dibawakan oleh salah satu Dosen Fakultas Hukum UHO yang juga mantan ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, La Patuju, S.Sos., MH.
Dari serangkaian materi yang dibawakan, yang berakhir pada pukul 01.30 WITA tersebut, setidaknya telah memberikan pemahaman baru kepada Pengurus BEM FH-UHO 2015-2016 tentang lingkup kelembagaan sehingga Insan Akademik yang diharapkan selain matang secara intelektual namun pula matang secara emosional dalam hal menjadi insan yang komunikatif dan mampu memberikan inovasi baru terhadap kepengurusan baru pada periode 2015-2016 ini.
            Setelah kegiatan Upgrading Pengurus dilakukan maka dengan bekal yang dimiliki oleh pengurus, pada hari Kamis sampai dengan Jumat 28-29 April 2016 kegiatan Rapat Kerja Pengurus BEM FH-UHO diselenggarakan. Dalam Rapat Kerja BEM FH-UHO dibagi dalam 3 sesi Sidang Pleno. Sidang Pleno Pertama membahas tentang Tata Tertib Rapat Kerja, Sidang Pleno 2 membahas tentang Program Kerja dan pada Sidang Pleno 3 menetapkan Tata Tertib dan Program Kerja BEM FH-UHO. Sidang dipimpin langsung oleh Ketua BEM FH-UHO, Muhammad Takdir Al Mubaraq, Wakil Ketua BEM FH-UHO, La Ode Sabanudin dan Sekretaris Jendral BEM FH-UHO, Mufidah Nurul Esa.
            Kegiatan pembahasan Rapat Kerja Badan Eksekutif Mahassiwa Fakultas Hukum UHO dihadiri oleh seluruh pengurus BEM FH-UHO yang beranggotakan 35 orang anggota. Kegiatan yang dilaksanakan Kamis 28 April 2016 di Aula Baru Fakultas Hukum UHO ini dimulai dari pukul 15.00 WITA sampai dengan 22.00 WITA. Dan pada hari Jumat 29 April 2016 Program Kerja BEM FH-UHO ditetapkan oleh Pimpinan Sidang 3 pada pukul 22.30 WITA.
            Program kerja yang ditetapkan tersebut, dibagi menjadi 3 bentuk Program, Program Jangka Pendek, Program Jangka Menengah dan Program Jangka Panjang yang dimana total program yang dilahirkan dalam pembahasan tersebut menjadi 25 Program. Dengan ditetapkannya Program Kerja BEM FH-UHO, maka arah dan orientasi sebagaimana Visi dan Misi BEM FH-UHO Periode 2015-2016 dalam menjaring dan mewadahi potensi Mahasiswa Fakultas Hukum UHO baik dalam bidang Akademik dan Non Akademik.
Setelah berakhirnya rangkaian kegiatan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum UHO Periode 2015 – 2016 di tutup dengan acara foto bersama oleh pengurus seluruh BEM FH-UHO Periode 2015-2016.